Senin, 29 Desember 2014

Masa Seragam Abu



         Teringat masa SMA, masa dimana kita belajar akan hidup dan kehidupan, masa dimana kita berbagi berbagai rasa dan tentunya kenangan. Berbagi bersama keluarga diantara keluarga kita. Keluarga yang selalu ada disetiap waktu kita. Saat itu, adalah saat-saat dimana kenangan kita terukir. Dulu ketika kita bersama tak sedikitpun ada luka disela hari kita, tak sedikitpun merasakan sepi yang sekarang ada. Menjalani hari demi hari dengan seragam abu-abu kita, bermain, belajar, nakal, bandel, dan tentunya tertawa bersama.
Ingatkah kalian teman masa itu?
Ingatkan kalian saat kita bersama meniti ilmu dan waktu kala itu?
Hingga tak terasa waktu selama 3 tahun berlalu, tak terasa tiba dipenghujung masa untuk berpisah. Aku sangat mengingat waktu itu, waktu aku bersujud dan meminta mengulangi semua. Meminta untuk tidak pergi meninggalkan kenangan itu. Namun tak mungkin, akhirnya kita berpisah. Dan kemudian menjalani  hidup masing-masing. Tanpa kebersamaan lagi. Kawan, jangan lupakan kenangan dengan seragam abu-abu, jangan lupakan setiap tawa, senyum, sedih dan sendu bersama. Agar kita mampu tetap bersama bukan dalam dunia nyata. Namun dalam hati dan kenangan kita. I love u all guys (X1, XI IPA 3, XII IPA 3, N umumnya kawan semua)

Kamis, 11 Desember 2014

Ibu

          Ibu, hari ini aku menangis, bukan karena aku lemah, ataupun cengeng, aku merasakan kebimbangan yang tak tahu arah. kebimbangan akan meninggalkan ataupun tetap bertahan. Ibu, peluklah aku.. dekaplah badanku dan rangkul pundakku yang semakin lelah ini.. agar aku mampu tersadar ibu, tersadar dari segala mimpi yang selama ini bernaung difikiranku, mimpi yang sedetikpun tak pernah hilang dari ingatanku. Hapuslah memori ini jika itu membuatku lebih baik ibu, usaplah keningku jika itu dapat menenangkanku dari segala risauku. Karena hanya ibulah yang mampu membuatku tersenyum dan hanya ibu yang mampu membuatku mengerti akan arah hidupku.

Kehampaan



            Jika Tuhan ijinkan aku berdoa dalam tangis, tesedu dalam kehampaan yang semakin mengiris. Membelenggu jiwa dan seakan ingin menampik semua senyum maupun tawa. Namun apakah sanggup, hati ini semakin rapuh, semakin tak berdaya dan semakin ingin melupakan semua ingatan yang pernah ada. Ingin pergi jauh tanpa adanya seorangpun yang mengenali. Tetapi apa aku sanggup, apa aku mampu melakukanya, sedangkan diriku pun tak tahu harus berbuat apa. Aku diam namun tak berfikir, aku menangis namun tak bergerak, dan aku berteriak namun aku bertahan. Berharap terhujam ujung masa, meninggalkan semua luka dan sayatan yang mengisi jiwa, menyisakan tangis yang selama ini selalu menemai mimpi. 

Kebimbangan

       Rintik hujan pagi menghantarkanku dalam luka, menembus asa diantara kehampaan dalam lamunan jiwa. mentari yang biasanya muncul diufuk timur kini seakan malu untuk menyinari, terhalang awan yang menyelimuti permukaan daratan ini. Tetesan embun terganti dengan air mata, semakin deras dan tak terasa basah didada. Sapu tangan, itulah yang aku raih dari tanganmu. Sapu tangan kusam yang selalu ada disela saku bajumu. Sebuah senyum manis yang menghiasi wajahmu, mengingatkanku pada sosok wanita yang telah tiada. Sosok wanita yang selalu ada dan menemani hari-hari dalam hampa. Aku kita dan masa lalu adalah sebuah paket yang selama ini tertanam dalam ingatanku, kenangan yang tak pernah sedikitpun hilang dari diriku. Ingin hati menghapusnya, membersihkan setiap sela dari semua itu. Namun tak mampu dan semakin tak mampu. Hujan yang membasahi semakin hilang dan berganti dengan sapuan angin, air mata yang semula ada berhenti seakan tak dapat keluar kembali. Kini mentari pun mencoba bangkit. Mencoba berdiri tegak sejajar dengan permukaan bumi. Menghangatkan setiap jengkal langkah kaki yang selama ini tertatih. Namun diri tak mampu setegar mentari, diri hanyalah sebuah rangka yang terbungkus kulit dan berisi kenangan kecewa. Kekecewaan akan masa lalu, kekecewaan akan masa depan, dan kekecewaan akan setiap ingatan yang tak kunjung tergantikan. Memberi bekas tanpa sayatan, mengukir luka tanpa hujaman. Saat kaki ini berusaha berlari, saat mata ini mulai menatap jeli, hati ini terkulai, hati ini tak mampu menahan setiap nafas yang terengah karena semua. Selalu dan selalu teringat. Setiap air mata yang menetes basahi pipi ini, ada doa yang terlantun dalamnya, untuk mu.. untuk kita.. dan untuk cinta..

Rabu, 10 September 2014

Tuhan

Engkau memberikan segala harapan..
Engkau memberikan setian angan dan impian..
Tak pernah terlewat dalam setiap helai nafas..
Selalu ada dikala hati dan raga terhempas..
Terkadang memberi penghalang..
Namun tak pernah memberi jalan..
Melangkahkan kaki untuk mencari jalan itu sendiri..
Menyibakkan bahu untuk meraih sejuta angan semu..
Wahai Tuhan..
Engkaulah panutan yang agung bagiku..

Selasa, 27 Mei 2014

Kini Sampah

Sampah..
terasa tak berguna..
sampah..
terasa tak berdaya..
hanya terdiam disudut sepi..
sendiri dan tak lagi bermimpi..
kini..
butir intan tiada berarti..
permata biru tak lagi membelenggu..
hanya sampah yang ada dihati..
tiada lagi cinta yang memberi arti..

Selasa, 13 Mei 2014

Cinta dan Akhir

Berawal langkah kaki menjemput cinta demi dambaan jiwa, menaiki mobil bertuliskan AL berwarna merah, menuju terminal disudut bekasi diantara pinggiran Jakarta, bersama ayah yang mencintai dan selalu menyayangiku, menghampirimu untuk ikut bersamaku melepaskan rasa rindu yang lama menumpuk dalam relung hati. Saat itu, masih teringat jelas dirimu menunggu dibawah sebuah pohon didepan emperan toko, senyum manis menyambut aku dan ayahku, sebuah ciuman hangat ditangan kamu berikan dengan rasa yang mendalam, aku begitu bahagia saat itu, hingga mulutku terasa kelu ingin berkata apa pun aku tak tahu. Akhirnya kita bertiga menuju rumah singgahku dipinggiran bekasi, aku pegang tanganmu erat saat itu, sebagai ungkapan rasa sayang dan juga rinduku padamu. Namun, tak beberapa lama setelah kita sampai dirumah mungil itu orang tuamu menelepon dan menginginkan dirimu segera kembali, aku begitu kecewa, namun aku tak mampu berbuat apa-apa, aku hanya terdiam dan takut karena semua kata yang aku dengar itu, akhirnya dengan terpaksa aku hantarkan dirimu menuju terminal disaat kita bertemu, dengan ditemani hujan aku pulang bersama segala luka yang ada karena hujatan dan hinaan keluargamu.
Langkah demi langkah kaki menyadarkanku akan keegoisan diri, mengembalikan semua ingatan akan tujuan dari hidup dan arti,  Sore menjemput lelahku, mengurung semua luka yang tergores karena cinta, terdiam diri memandangi mega merah di pinggiran bekasi, menyeberangi jalan melangkah menuju rumah, disambut dengan senyum-senyum hangat, namun bibirku tak mau berucap, tak sedikitpun mau tersenyum.

Minggu, 27 April 2014

Tujuh Tahun Lalu

      
     Hari ini tepat tujuh tahun yang lalu, terakhir kali aku melihat senyum itu, senyum yang sempat menghiasi hari-hari dalam waktuku. Senyum yang tak lagi ada tanpa dirimu. 26 april 2007, tanggal yang tak pernah hilang dari ingatanku, tanggal dimana hari itu terjadi, kau pergi dan tak kembali lagi menemani. Sempat hati tak ingin itu terjadi, menyalahkan waktu dan takdir yang mengalir tanpa bisa dihalangi. Namun kini aku mulai tersadar, bahwa setiap jalan pasti ada titik akhirnya, setiap langkah pasti ada titik kelelahan dan setiap nafas pasti ada waktu untuk mengakhirinya. Kini aku merasa sunyi, merasakan waktu yang sepi tanpa sapaan lembut itu lagi, tanpamu begitu berat namun aku tahu tanpamu aku mampu lebih kuat. Aku yakin kamu pasti bahagia disana, bersama semua doa yang terlantun indah dari kami, dari orang-orang yang menyayangimu, merindukan setiap canda dan tawamu Eliz...

            

Minggu, 05 Januari 2014

sore itu..

Di Sore Itu...

Hujan iringi sore saat hati tak sejalan dengan rasa, terdengar dering hape berbunyi, ku lihat sebuah pesan singkat, berisikan kata permintaan dan keindahan dari seorang insan tersayang. Senyum terpajang dari bibir dan wajahku, berharap pesan itu tak bohong dan memang ditujukan untukku, tak ada jawaban lain hanya kata “iya” yang aku kirimkan, sembari menunggu hujan reda aku bercengkrama dengan beberapa teman diantara bangku kosong dikelas itu. Hingga, waktu menunjukkan setengah lima, hujan yang semula lebat mulai reda, dan mendung yang tadinya hitam mulai memudar warnanya. Terdengar sayup salam, kulihat itu kamu, berbaju biru melangkahkan kaki menuju kearahku. Saat pesan yang kamu kirimkan lewat hape itu kamu ucapkan didepanku, ingin aku jawab, namun ternyata teman disampingku yang lebih dulu menjawabnya, dengan semua kata yang mampu membuat dirimu tertawa, aku hanya bisa terdiam, aku hanya bisa meneteskan air mata dalam senyum resahku. Ternyata pesan itu tak hanya kamu kirimkan kepadaku, tapi juga pada dia yang memang pernah dekat denganmu.
 Aku sadari aku memang bodoh, siapa aku dan apa hakku mendapat pesan itu, tentu saja pesan itu bukan apa-apa bagimu, namun pesan itu sesuatu yang dapat mengobati rasa rindu akan perhatianmu. Walaupun rasa itu juga hilang setelah kau pergi meninggalkan kelas itu. Terimakasih atas rasa ini, terimakasih atas semuanya, aku akan diam, dan terus diam, tak akan aku membuka mulut tentang rasa hati ini. Dan tak akan aku ulangi kesalahanku untuk mencintaimu. Karena aku hanya lelaki bodoh yang hanya bisa menghadirkan luka, tanpa bisa mengukir senyum indah diantara indahnya cinta.




By: ichuum...